Memaknai Perayaan Pitulasan (17-an)
Bangsaku Apa Bang “Saku”
Pagi2 sekali habis sholat subuh, dengan speda made in Djepang, saya menyusuri persawahan yang ijo loyo2, masuk kampong keluar kampung, dan saya lakukan tiap pagi sejauh 10 km. Wong kota nyebutnya sepeda sehat. Kalo ditotal Djendral, dalam sebulan 300 km. Artinya tiap bulan dari Pekalongan saya ke
Lho kok pakai speda Djepang, apanya yang asyik .? Ceritera speda Djepang ini unik . Speda ini konon hanya ada di Pekalongan. Di Djepang speda ini sudah disampahkan, tapi dasar wong Ngkalongan yang banyak akalnya, speda rongsokan Djepang, yg sudah jadi sampah di Djepang itu di ekspor ke
Konon Pak H3 Kastolani itu importir tunggal di Indonesia. Dikota2 lain, nggak ada sepeda Djepang merk ALJABAR. Sehingga ketika sepeda itu dibawa ke
Begitulah sohibul hikayatnya speda Djepang merek ALJABAR, yang tiap pagi esuk utuk2 saya ajak keliling nyusuri persawahan dan dari kampong keluar kampong. Walah asyiknya Man !
Dari “perjumpaan” saya dengan masyarakat kampung, melalui tamasya tiap pagi itu, saya merasakan benar2 “menjadi” Wong
Mereka sibuk, tapi sangat enjoy. Ketika ditanya “ono opo Kang, kok rame2 ?!” Jawabnya : “Sampeyan kuwi Kang Kaji, opo ora reti, nek sedelo maneh Pitulasan “ Lha saya kira
Sambil beristirahat dibawah pohon Karsem, sambil nyruput kopi hangat yang saya bawa dari rumah dan tentu saja nyedot rokok SUKUN , saya melihat kesibukan mereka. Dan sangat mengasyikkan . Tidak ada yang nyuruh, ndak nada yang ngomando, tapi atas kesadaran mereka sendiri, mereka menyambut 17-an, sebagai “hari yang spesial”.Bahasanya wong pinter, mereka memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang sangat luar biasa. Mereka "sangat" Indonesia.
Hari2 itu mereka melupakan kesulitan hidupnya yang mengimpit bertahun2 sejak Repotnasi. Mereka sebenarnya bagian dari orang2 yang terlempar dari Pabrik2 yang berada disekitarnya. Anak2 remajanya, menjadi bagian kelompok yang tidak bisa meneruskan sekolahnya. “ Boro2 sekolah, wong untuk makan sehari2 saja, susah bin sulit” kata Kang Badrun bapak dari 5 anak2nya yang masih kecil2.
Mereka inilah yang selalu jadi komoditas para elite ( data dari Sugeng Saryadi Syndicate hanya 20.000 orang), dalam rangka meraih kepentingannya. Demi rakyatlah atau atas nama Rakyatlah, seolah2 wong elite2 itu memperjuangkan kepentingan mereka. Walah jebulnya, untuk “Saku”-nya sendiri. Ulah 20 ribu itulah yang bikin 200 juta rakyat menderita. Atas nama Demokrasi, mereka berpesta pora. Bermobil mewah. Kunjungan Kerja keluar negeri. Minta uang transportnya ditambah demi kunjungan kepada rakyatnya. Rumahnya disewakan Negara. Listrik, telepon dan hp-nya juga minta dibayar Negara. Dan yang fantastis mereka bukannya bersholat jamaah tapi Berkorupsi Jamaah. Ketika mereka menilep uang Rakyat, mereka bilang, itu syukuran, bukan korupsi. Masya Alloh..
Pada Pitulasan (17-an) tahun ini, 62 tahun