Friday, August 10, 2007





Memaknai Perayaan Pitulasan (17-an)
Bangsaku Apa Bang “Saku”


Pagi2 sekali habis sholat subuh, dengan speda made in Djepang, saya menyusuri persawahan yang ijo loyo2, masuk kampong keluar kampung, dan saya lakukan tiap pagi sejauh 10 km. Wong kota nyebutnya sepeda sehat. Kalo ditotal Djendral, dalam sebulan 300 km. Artinya tiap bulan dari Pekalongan saya ke Jakarta, naik sepeda. Hebat nggak Lhour ?!


Lho kok pakai speda Djepang, apanya yang asyik .? Ceritera speda Djepang ini unik . Speda ini konon hanya ada di Pekalongan. Di Djepang speda ini sudah disampahkan, tapi dasar wong Ngkalongan yang banyak akalnya, speda rongsokan Djepang, yg sudah jadi sampah di Djepang itu di ekspor ke Indonesia . Di Pekalongan, tepatnya di nDeso Banyurip Buaran Pekalongan oleh Pak Kaji Kastolani -importir speda rongsokan- di make up, ya dicat lagi, dikinclongkan lagi , jadilah speda gress made in Djepang. Spedanya dinamai AL JABAR singkatan dari “Alhamdulillah Jalan Baru”. Bagi Pak Kaji Kastolani speda ini merupakan usaha yang benar2 mendatangkan rejeki halal. Karena dari sepeda Djepang inilah Pak Kaji Kastolani bisa bermobil “BMW”, ber-Haji berkali2. Makanya Pak Kastolani dipanggil “ H3 Kastolani ”. Artinya sudak 3 x pergi haji. Dan jangan coba2 ente panggil dia dengan “nama saja” tanpa hajinya, ditanggung tidak bakal menoleh. Lha kudunya gimana ? Kang Kaji atao Mas Kaji ! panggilannya. Opo ora hebat ! Panteslah kalo nama merk sepeda Djepangnya AL-JABAR alhamdulillah jalan baru .


Konon Pak H3 Kastolani itu importir tunggal di Indonesia. Dikota2 lain, nggak ada sepeda Djepang merk ALJABAR. Sehingga ketika sepeda itu dibawa ke Jakarta, oleh tetangganya Pak Kaji, Glenn namanya (yg kuliah di Jkt) , wong2 Jakarta pada gumun bin heran. Antique sepedanya , pakai persneling, tidak pakai rantai tapi pakai gardan…leslesszzz,..ting tong.!!!


Begitulah sohibul hikayatnya speda Djepang merek ALJABAR, yang tiap pagi esuk utuk2 saya ajak keliling nyusuri persawahan dan dari kampong keluar kampong. Walah asyiknya Man !


Dari “perjumpaan” saya dengan masyarakat kampung, melalui tamasya tiap pagi itu, saya merasakan benar2 “menjadi” Wong Indonesia. Lebih2 dalam suasana nyambut Pitulasan Mereka (orang2 kampung) dengan sapu wodo, bersih2 halamannya, ada yang sedang nglabur (ngecat) rumahnya. Ada yang beramai2 pasang umbul2 merah putih. Ada yang lagi pasang pohon pinang. Pinang itu akan digunakan untuk lomba panjat2-an, dan ada panggung kecil yang dihias dengan kertas warna warni. Panggung untuk lomba "menangis". " Wong Kampung sini sudah kehabisan airmata" kata Kang Bonari. Sejak kapan ? " Walah den Kaji, sejak jaman .. yang katanya sosi,sosi itu lho ". "Sosi sosi , repormasi goblok !" sambung Ali Kuping, yang rambutnya dicat , ben koyo Londo . Sing biso nangis keluarkan airmata, hadiahnya kambing. Ada lagi sekelompok remaja sambil senda gurau, asyik mengecat garis pingggir jalan dengan warna putih. Setiap 5 m, jalan2 kampung dikasih bendera merah putih. Jadilah Kampung2 itu semarak , menyambut datangnya Perayaan Pitulasan.


Mereka sibuk, tapi sangat enjoy. Ketika ditanya “ono opo Kang, kok rame2 ?!” Jawabnya : “Sampeyan kuwi Kang Kaji, opo ora reti, nek sedelo maneh Pitulasan “ Lha saya kira kan mau ada mantenan.


Sambil beristirahat dibawah pohon Karsem, sambil nyruput kopi hangat yang saya bawa dari rumah dan tentu saja nyedot rokok SUKUN , saya melihat kesibukan mereka. Dan sangat mengasyikkan . Tidak ada yang nyuruh, ndak nada yang ngomando, tapi atas kesadaran mereka sendiri, mereka menyambut 17-an, sebagai “hari yang spesial”.Bahasanya wong pinter, mereka memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang sangat luar biasa. Mereka "sangat" Indonesia.


Hari2 itu mereka melupakan kesulitan hidupnya yang mengimpit bertahun2 sejak Repotnasi. Mereka sebenarnya bagian dari orang2 yang terlempar dari Pabrik2 yang berada disekitarnya. Anak2 remajanya, menjadi bagian kelompok yang tidak bisa meneruskan sekolahnya. “ Boro2 sekolah, wong untuk makan sehari2 saja, susah bin sulit” kata Kang Badrun bapak dari 5 anak2nya yang masih kecil2.


Mereka inilah yang selalu jadi komoditas para elite ( data dari Sugeng Saryadi Syndicate hanya 20.000 orang), dalam rangka meraih kepentingannya. Demi rakyatlah atau atas nama Rakyatlah, seolah2 wong elite2 itu memperjuangkan kepentingan mereka. Walah jebulnya, untuk “Saku”-nya sendiri. Ulah 20 ribu itulah yang bikin 200 juta rakyat menderita. Atas nama Demokrasi, mereka berpesta pora. Bermobil mewah. Kunjungan Kerja keluar negeri. Minta uang transportnya ditambah demi kunjungan kepada rakyatnya. Rumahnya disewakan Negara. Listrik, telepon dan hp-nya juga minta dibayar Negara. Dan yang fantastis mereka bukannya bersholat jamaah tapi Berkorupsi Jamaah. Ketika mereka menilep uang Rakyat, mereka bilang, itu syukuran, bukan korupsi. Masya Alloh..


Pada Pitulasan (17-an) tahun ini, 62 tahun Indonesia merdeka. Kawan2ku dan saudara2ku di Kampung2 yang hari2 ini dengan tulus tanpa pamrih kepada siapapun, bersiap2 menyambut Pitulasan dengan cara dan gayanya khas wong nDeso, mengibarkan merah putih dihalaman rumahnya, mengecat rumahnya, menghias kampungnya dengan rupa2 warna merah putih meskipun mereka dihimpit derita kesulitan hidup. Mereka tetap menganggap Indonesia adalah Indonesia Raya, bukannya Indonesia Rayahan”. Dan ketika mereka menyatakan kesetiaannya sebagai Bangsa.,dia nyatakan dengan lantang dan jujur . Aku Bangsa Indonesia, dan sampai kapanpun aku berjuang dan mengabdi untuk BANGSAKU, bukannya BANG – SAKU. <>