Sunday, November 25, 2007

Pekalongan Maju Jogjakarta Lesu


Hr Kompas


SALAH satu bukti adanya sinyal yang berbeda tentang situasi ekonomi terlihat dari produksi dan perdagangan batik. Di Pekalongan krisis ekonomi tidak begitu mempengaruhi usaha kerajinan batik di kota itu. Tetapi, sebaliknya di Yogyakarta (yang bersama Solo) selama ini dianggap sebagai pusat produksi dan perdagangan batik, malah lesu.

Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, tidak begitu berpengaruh terhadap kemajuan usaha kerajinan batik di Pekalongan, walaupun juga diakui terjadinya kenaikan harga bahan baku yang seiring dengan meningkatnya permintaan pesanan dari banyak kalangan terhadap produk kerajinan batik Pekalongan.

Sedangkan dari Yogyakarta dilaporkan, banyak pengusaha batik dan kerajinan sebenarnya mengalami masa paceklik, terutama mereka yang mengandalkan pasar pada kunjungan wisatawan mancanegara.

Di Pekalongan, beberapa bahan baku yang naik harganya itu meliputi kain santung, kain prima, dan bahan jadi sutera. Kenaikannya berkisar Rp 150-Rp 1.500 per yard kain. Sedangkan di Yogyakarta, pasar batik dan kerajinan terus mengalami penurunan, sehingga mereka yang selama ini mengandalkan pasar dalam negeri termasuk kunjungan wisatawan mancanegara (seperti sejumlah pengusaha batik di pusat batik Kampung Prawirotaman), banyak yang gulung tikar, atau pindah usaha ke usaha perhotelan.

Direktur Pasar Grosir Sentono, Pekalongan, Hasanuddin menjelaskan, berkat promosi yang gencar dilakukan perajin, termasuk mengikuti pameran batik di Jakarta belum lama ini, diakui dampaknya cukup besar. Permintaan produk-produk batik hasil kerajinan Pekalongan banyak mengalir. “Tetapi seiring dengan kenaikan itu, naiknya permintaan juga dibarengi dengan kenaikan harga-harga bahan baku,” ujar Hasanuddin.

Harga bahan baku yang naik itu, meliputi kain santung, kain prima dan bahan jadi sutera. Dari sejumlah bahan baku itu, kenaikan cukup tinggi itu pada kain santung. Kain santung kini mencapai Rp 4.000 per yard, sedangkan kain prima sudah mendekati Rp 3.500 per yard dan kain jadi sutera juga mengalami kenaikan harga yang beragam.

“Kalau pakaian jadi dari sutera untuk kemeja, misalnya, kini dijual Rp 85.000 hingga Rp 150.000 per satuan. Dengan harga ini ada kenaikan antara Rp 5.000-Rp 10.000. Untuk pakaian perempuan, baju setelah dengan selendang berkisar Rp 150.000 hingga Rp 250.000,” ujarnya.

Damin, perajin lain di Kajen, Pekalongan, mengatakan, berhubung belanja bahan mengalami kenaikan maka harga jual pun ikut naik. Malahan, karyawan juga menuntut adanya kenaikan upah setelah tahu banyak produk begitu laris di pasaran.

Dia mengatakan, kenaikan bahan itu sebenarnya tidak terlalu berat karena permintaan produk kerajinan juga naik. “Permintaan pakaian daster (baju tidur) ke Jakarta yang biasanya saya hanya mengirim empat kodi per minggu kini tambah menjadi enam kodi. Kemudian, order baju batik juga ada peningkatan dengan pesanan 7.500 biji.”

Perajin lain, Mahlul Akbar mengemukakan, perajin juga masih banyak menerima limpahan dari panen kali ini. Musim panen ini setidaknya bisa menjual hasil kerajinan. Rata-rata pedagang di pasar grosir bisa menjual pakaian batik empat-enam potong per hari.

Penurunan di Yogyakarta
“Terus-terang, saya baru saja mengalami penurunan omzet paling tidak 15 persen per bulan. Kalau saya tidak mengandalkan diri dengan karya-karya saya sebagai desainer, wah enggak ngerti lagi bagaimana nasib saya yang harus menanggung ratusan karyawan,” ujar desainer beken dan pengusaha batik dan berbagai kerajinan Ardiyanto Pranata kepada Kompas.

Selain mengandalkan, pasar pada desain-desain pakaiannya, Ardiyanto mengaku, pasar terbesarnya sebenarnya bukan pasar lokal. “Saya mengandalkan diri pada garmen. Ini sudah agak lama, dan saya punya pasar Amerika. Makanya, meskipun nilai rupiah terus merosot, untuk komiditas garmen, justru menguntungkan,” kata Ardiyanto yang mulai melayani pasar baru Jepang via Bali.

Menurut Ardiyanto, berbagai corak garmen-dan bukan batik-kini tengah nge-trend di Bali, atas permintaan wisatawan Jepang. “Banyak turis Jepang yang menyatakan kawin di negeri mereka itu biayanya mahal, maka mereka membuat wedding ceremony acara perkawinan di Bali dengan harga lebih murah, lengkap dengan bajunya,” ujar Ardiyanto.

Menurut Ardiyanto, bisnis batik dan garmen yang mengandalkan pasar wisatawan, harus mempunyai ciri khas, yaitu high fashion atau secara khusus memiliki jaringan pemasaran langsung ke negara lain. Tanpa itu, bisnis batik, garmen, maupun kerajinan akan mengalami kesulitan.

ATBM
Sementara itu industri lain di Pekalongan seperti ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) juga tak mengalami kelesuan akibat naiknya harga dollar. Menurut perajin ATBM di Kota Pekalongan, Umi, pemasaran produk-produk ATBM masih tetap selancar minggu sebelumnya. Bahkan, para pemesan yang berdatangan dari luar kota seperti dari Jakarta, Bandung, dan Ciamis, juga tetap memesan dalam volume yang sama yaitu dua kodi.

“Pendapatan kami tetap sama, Rp 3 juta per hari. Apa mungkin karena sekarang masih musim haji yah, sehingga masih banyak orang yang punya uang. Saya tidak tahu apakah kalau musim haji sudah habis, pendapatan kami masih tetap sama?” tanya Umi.

Sementara, pembeli eceran pun tetap berdatangan. Baik yang memesan langsung ke rumahnya maupun yang datang ke Pasar Grosir Sentono.

No comments: