Sunday, November 25, 2007



Pasar Tradisional Bergaya Modern

SUDAH BERSIH, BELANJA APA PUN TERSEDIA
Pasar Kajen Kudu Niru Pasar Sing Koyo Kiye


Untuk memenuhi kenyamanan pembeli, pasar yang didirikan developer ini dikemas bersih dan rapi. Ibu-ibu pun senang belanja di sana. Apa bedanya dengan pasar tradisional pada umumnya?

KLIK - Detail Suasana pasar tradisional yang biasanya kumuh, becek, dan padat tak terlihat ketika memasuki Pasar Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang. Pasar ini begitu bersih dan rapi, dengan menggunakan lantai keramik. Para pedagang menata dagangannya secara rapi di lapak mereka. Di belakang masing-masing lapak, tersedia keran air.

Di pasar yang dikeliling ruko-ruko ini terdapat 320 kios dengan ukuran 3 x 5 meter dan 300 lapak ukuran 2 x 2 meter. Mereka adalah pedagang pakaian, gordin, suvenir, VCD, hingga makanan matang. Di lapak lain, ada pedagang daging, ayam, sayur, buah.

Sekeliling pasar yang dibangun di atas tanah seluas tiga hektar ini, ditempati kios-kios. Sedangkan posisi lapak berada di tengah-tengah.

Ada beberapa kelompok lapak. Satu lorong diisi pedagang daging, di bagian lain khusus pedagang ikan basah. Masing-masing dibagi sesuai dengan jenis dagangan yang dijual.

CIPTAKAN KENYAMANAN
Kenyamanan untuk pembeli memang sudah jadi komitmen pengelola pasar. "Kami ingin menciptakan kenyamanan buat pembeli yang sudah datang ke mari. Salah satunya, kami tidak memperkenankan pedagang asongan, pengamen, dan peminta-minta datang ke pasar ini," kata Erian Iskandar, finance Pasar Modern BSD City.

KLIK - Detail Ide membangun pasar modern ini, kisah Erian, sebenarnya sudah lama. "Pembangunan pasar ini adalah bagian dari fasilitas yang dilakukan perumahan Bumi Serpong Damai. Pasar lama yang berada di areal BSD sudah tak cocok lagi dengan pengembang di sini. Jadi harus direlokasi dan reabilitasi," ujar Erian seraya mengatakan pengelola pasar adalah developer BSD.

Konsep pasar yang didirikan 1 Juli tahun lalu ini, kata Erian, dibuat seperti mal, yaitu bersih dan rapi. Pasar buka mulai jam 05.00 - 14.00. Nah, dalam rangka menjaga ketertiban dan kerapian, pengelola pasar menerapkan tata tertib yang harus dipatuhi pedagang. Salah satunya, para pedagang dilarang meletakkan barang dagangan di jalan atau lorong.
"Apabila melanggar, barang dagangan diambil atau dibawa ke kantor pengelola. Jika dua kali melakukan pelanggaran, akan dapat sanksi pemutusan perjanjian sewa secara sepihak," jelas Erian.

Aturan lain, pedagang tidak diperbolehkan membiarkan sampah berceceran. Sampah harus dimasukkan ke dalam kantong plastik dan meletakkan di areal yang ditentutan, sampai petugas kebersihan mengambilnya pada jam tertentu. "Para pedagang juga harus menata dan mengatur dagangannya hingga terlihat menarik."

Dengan penataan yang menjanjikan kenyamanan ini, tak heran banyak pembeli yang berbelanja di pasar ini. "Mereka ada yang datang dari Pondok Indah, Bintaro, Ciputat, Pamulang, Cibubur, dan warga Tangerang sendiri. Bahkan, Pemda se-Jawa sering melakukan study banding. Mereka melihat konsep yang kami bikin. Rata-rata tertarik dan berkeinginan menerapkan di daerah masing-masing."

KLIK - DetailSENANG DIANTAR SUAMI
Pasar semakin ramai dikunjungi ibu-ibu yang belanja, terutama pada hari Sabtu dan Minggu. Salah satu ibu yang selalu belanja di pasar ini adalah Marda (35). "Saya tahu pasar ini dari teman. Katanya, pasar di sini lain dari yang lain. Bersih, nyaman, dan enak. Sebagai ibu rumah tangga yang bawaannya selalu ingin tahu, saya pun ke pasar ini. Ternyata memang asyik. Jarang-jarang ada pasar seperti ini," kata warga Bintaro ini.

Sudah begitu, barang kebutuhan rumah tangga yang diinginkan pun tersedia. Tak heran, ibu dua anak yang terbiasa keliling Jakarta jika hendak membeli barang ini, akhirnya memilih Pasar BSD jadi favoritnya. "Beda dengan belanja pasar tradisional di dekat rumah saya, terkadang apa yang saya butuhkan tidak tersedia. Di sini, bumbu lain seperti daun ketumbar yang susah didapat di pasar tradisional yang lain, juga tersedia," ujar Marda yang mengaku sudah mengelilingi pasar di Jakarta dan sekitarnya.

Yang paling membahagiakan Marda, suaminya jadi tak segan mengantarnya ke pasar. "Suami betah nunggu, kok. Di depan pasar, kan, banyak terdapat warung makanan. Dia nunggu di warung dengan anak sambil baca koran," ujarnya sambil tersenyum.

Pengunjung lain, Siwi, juga merasa nyaman belanja di Pasar BSD. Ibu satu anak warga Binatro ini mengaku sudah sekitar setahun belanja di sini. "Ibaratnya sejak pasar buka, saya sudah belanja di sini. Saya senang karena tempatnya nyaman. Ruangannya luas dan sirkulasi udara juga lancar karena atapnya tinggi. Kalau hujan, pasar ini juga tidak becek. Sudah begitu, harga barang di sini enggak terlalu mahal." ( Tabloid Nova )

Pekalongan Maju Jogjakarta Lesu


Hr Kompas


SALAH satu bukti adanya sinyal yang berbeda tentang situasi ekonomi terlihat dari produksi dan perdagangan batik. Di Pekalongan krisis ekonomi tidak begitu mempengaruhi usaha kerajinan batik di kota itu. Tetapi, sebaliknya di Yogyakarta (yang bersama Solo) selama ini dianggap sebagai pusat produksi dan perdagangan batik, malah lesu.

Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, tidak begitu berpengaruh terhadap kemajuan usaha kerajinan batik di Pekalongan, walaupun juga diakui terjadinya kenaikan harga bahan baku yang seiring dengan meningkatnya permintaan pesanan dari banyak kalangan terhadap produk kerajinan batik Pekalongan.

Sedangkan dari Yogyakarta dilaporkan, banyak pengusaha batik dan kerajinan sebenarnya mengalami masa paceklik, terutama mereka yang mengandalkan pasar pada kunjungan wisatawan mancanegara.

Di Pekalongan, beberapa bahan baku yang naik harganya itu meliputi kain santung, kain prima, dan bahan jadi sutera. Kenaikannya berkisar Rp 150-Rp 1.500 per yard kain. Sedangkan di Yogyakarta, pasar batik dan kerajinan terus mengalami penurunan, sehingga mereka yang selama ini mengandalkan pasar dalam negeri termasuk kunjungan wisatawan mancanegara (seperti sejumlah pengusaha batik di pusat batik Kampung Prawirotaman), banyak yang gulung tikar, atau pindah usaha ke usaha perhotelan.

Direktur Pasar Grosir Sentono, Pekalongan, Hasanuddin menjelaskan, berkat promosi yang gencar dilakukan perajin, termasuk mengikuti pameran batik di Jakarta belum lama ini, diakui dampaknya cukup besar. Permintaan produk-produk batik hasil kerajinan Pekalongan banyak mengalir. “Tetapi seiring dengan kenaikan itu, naiknya permintaan juga dibarengi dengan kenaikan harga-harga bahan baku,” ujar Hasanuddin.

Harga bahan baku yang naik itu, meliputi kain santung, kain prima dan bahan jadi sutera. Dari sejumlah bahan baku itu, kenaikan cukup tinggi itu pada kain santung. Kain santung kini mencapai Rp 4.000 per yard, sedangkan kain prima sudah mendekati Rp 3.500 per yard dan kain jadi sutera juga mengalami kenaikan harga yang beragam.

“Kalau pakaian jadi dari sutera untuk kemeja, misalnya, kini dijual Rp 85.000 hingga Rp 150.000 per satuan. Dengan harga ini ada kenaikan antara Rp 5.000-Rp 10.000. Untuk pakaian perempuan, baju setelah dengan selendang berkisar Rp 150.000 hingga Rp 250.000,” ujarnya.

Damin, perajin lain di Kajen, Pekalongan, mengatakan, berhubung belanja bahan mengalami kenaikan maka harga jual pun ikut naik. Malahan, karyawan juga menuntut adanya kenaikan upah setelah tahu banyak produk begitu laris di pasaran.

Dia mengatakan, kenaikan bahan itu sebenarnya tidak terlalu berat karena permintaan produk kerajinan juga naik. “Permintaan pakaian daster (baju tidur) ke Jakarta yang biasanya saya hanya mengirim empat kodi per minggu kini tambah menjadi enam kodi. Kemudian, order baju batik juga ada peningkatan dengan pesanan 7.500 biji.”

Perajin lain, Mahlul Akbar mengemukakan, perajin juga masih banyak menerima limpahan dari panen kali ini. Musim panen ini setidaknya bisa menjual hasil kerajinan. Rata-rata pedagang di pasar grosir bisa menjual pakaian batik empat-enam potong per hari.

Penurunan di Yogyakarta
“Terus-terang, saya baru saja mengalami penurunan omzet paling tidak 15 persen per bulan. Kalau saya tidak mengandalkan diri dengan karya-karya saya sebagai desainer, wah enggak ngerti lagi bagaimana nasib saya yang harus menanggung ratusan karyawan,” ujar desainer beken dan pengusaha batik dan berbagai kerajinan Ardiyanto Pranata kepada Kompas.

Selain mengandalkan, pasar pada desain-desain pakaiannya, Ardiyanto mengaku, pasar terbesarnya sebenarnya bukan pasar lokal. “Saya mengandalkan diri pada garmen. Ini sudah agak lama, dan saya punya pasar Amerika. Makanya, meskipun nilai rupiah terus merosot, untuk komiditas garmen, justru menguntungkan,” kata Ardiyanto yang mulai melayani pasar baru Jepang via Bali.

Menurut Ardiyanto, berbagai corak garmen-dan bukan batik-kini tengah nge-trend di Bali, atas permintaan wisatawan Jepang. “Banyak turis Jepang yang menyatakan kawin di negeri mereka itu biayanya mahal, maka mereka membuat wedding ceremony acara perkawinan di Bali dengan harga lebih murah, lengkap dengan bajunya,” ujar Ardiyanto.

Menurut Ardiyanto, bisnis batik dan garmen yang mengandalkan pasar wisatawan, harus mempunyai ciri khas, yaitu high fashion atau secara khusus memiliki jaringan pemasaran langsung ke negara lain. Tanpa itu, bisnis batik, garmen, maupun kerajinan akan mengalami kesulitan.

ATBM
Sementara itu industri lain di Pekalongan seperti ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) juga tak mengalami kelesuan akibat naiknya harga dollar. Menurut perajin ATBM di Kota Pekalongan, Umi, pemasaran produk-produk ATBM masih tetap selancar minggu sebelumnya. Bahkan, para pemesan yang berdatangan dari luar kota seperti dari Jakarta, Bandung, dan Ciamis, juga tetap memesan dalam volume yang sama yaitu dua kodi.

“Pendapatan kami tetap sama, Rp 3 juta per hari. Apa mungkin karena sekarang masih musim haji yah, sehingga masih banyak orang yang punya uang. Saya tidak tahu apakah kalau musim haji sudah habis, pendapatan kami masih tetap sama?” tanya Umi.

Sementara, pembeli eceran pun tetap berdatangan. Baik yang memesan langsung ke rumahnya maupun yang datang ke Pasar Grosir Sentono.

Pansus setujui renovasi Pasar Kajen
Sabtu, 17 November 2007
Wawasan Digital


Pansus setujui renovasi Pasar Kajen

Image
Foto : Hadi
KAJEN - Setelah melakukan kajian, panitia khusus (pansus) Pasar Kajen akhirnya me­nye­tujui rencana renovasi Pasar Kajen, de­ngan harga terjangkau pedagang. Kendati de­mikian, pansus juga meminta eksekutif melakukan kajian geo ekonomi dan lingkungan rencana pasar baru di Sinangoh­prendeng. Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan, Asip Kholbihi SH, ditemui Wawasan, Jumat (16/11) menjelaskan, dari hasil rapat ga­bungan DPRD, surat nomor 172/475/2005, tertanggal 13 Desember 2005, tentang Per­setujuan Pasar Baru Kajen, dicabut.

Dewan juga menyetujui usulan renovasi Pasar Kajen, sesuai dengan Surat Bupati Pe­ka­longan nomor 644.2/27, tanggal 13 Juli 2007, perihal Permohonan Persetujuan Pem­bangunan/Renovasi Pasar Kajen.

Dijelaskan, rekomendasi yang dikeluar­kan pansus pasar yang diketuai H Khilmi Fir­daus SE, di antaranya pembangunan renovasi Pasar Kajen yang berada di Jalan Di­po­negoro dapat dilakukan dengan memperhatikan hasil survei pansus pengkajian re­lo­kasi/renovasi pasar. Dalam renovasi Pasar Ka­jen, perlu dibangun tempat penempatan sementara bagi para pedagang.

“Para pedagang yang menempati tempat penampungan sementara dibebaskan dari biaya retribusi. Eksekutif juga diminta melakukan pemutakhiran data pedagang Pasar Kajen dan disosialisasikan kepada masyarakat pasar,” kata Asip.

Terkait lahan di Desa Sinangohprendeng yang telah disiapkan untuk pasar baru, Asip menjelaskan, pansus meminta agar pemba­ngunan pasar di Sinangohprendeng dapat di­la­kukan dengan terlebih dahulu dilakukan kajian geo ekonomi dan lingkungan, dengan peruntukan pasar, seperti pasar buah, sayuran, dan hewan.

Rencana anggaran renovasi Pasar Kajen yang semula dirancang Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Pekalongan, mencapai Rp 29 miliar, telah didesain ulang. Dalam desain ulang, rencana anggaran renovasi Pasar Kajen, menjadi Rp 24 miliar. Selain itu, ukuran kios pun dirubah. Jika rencana semula ukuran kios rata-rata cuma 3 X 4 meter, kini ukurannya lebih barvariasi. Yakni, 4 X 6 m, 3 X 4 m, dan 3 X 6,5 m.

Kepala DPU, Paiman Adhi, menjelaskan, dalam desain baru, Pasar Kajen tetap akan dibuat dua lantai dengan mengikuti kontur la­han. Antisipasi kemungkinan pelebaran jalan di depan pasar juga dipikirkan. Ren­cananya, lokasi pasar akan diundur 12 meter dari jalan raya.

“Jumlah pedagang sekitar 1.400 orang, rencananya renovasi mampu menampung se­kitar 1.900 pedagang. Sebab, masih ada bagian pasar yang belum penuh terisi, seperti di blok bawah yang kemungkinan tidak dibongkar,” jelasnya. haw-bg

Dari Pekajangan, Batik Pekalongan Berbicara

Harian Kompas



LEBAR jalan di Gang Pekajangan II hanya empat meter. Mengendarai mobil memasuki gang ini harus hati-hati. Kalau mau berputar kembali butuh halaman rumah yang terbuka. Ketika usaha tenun yang dicari ketemu, letaknya ternyata berada di sela kepadatan jajaran rumah. Ketika mobil mau masuk, di tanah lapang itu terbentang puluhan celana jins tengah ditata di tanah untuk dijemur. "Masuk saja Pak, ndak apa-apa kalau mobilnya melindas celana jins itu," kata salah seorang pekerja di usaha konveksi milik H Chasnoto.

JURAGAN jins wash Chasnoto menyongsong tamunya hanya dengan mengenakan kain sarung dan kaus. Terkesan santai. Langsung dia mengajak tamunya mengelilingi areal rumah sekaligus pabrik usaha jins. Ada 30 pekerja, delapan di antaranya perempuan, sedang menyelesaikan order pembuatan celana jins. Celana yang baru dijemur itu ternyata baru digilas di mesin pencuci, sekaligus diberi obat penguat warna.

"Celana jins, khususnya buat perempuan muda, lagi trend. Jins yang paha depan dan belakangnya diberi sentuhan asap (maksudnya warna putih vertikal). Celana model begitu laku keras. Kalau sudah kering, celana itu dicuci lagi di mesin cuci besar, disetrika, dan dikemas berikut diberi label merek," tutur Chasnoto.

Seorang pekerja mengaku mampu menyelesaikan 35-40 potong celana jins sehari. Rata-rata pekerja memperoleh penghasilan Rp 15.000-Rp 20.000 sehari. Mereka juga dapat makan siang dan makanan ringan. Dari tumpukan bahan yang berserakan, diperkirakan Chasnoto tengah menyelesaikan 400 potong celana jins. Sebagian besar bahan dibeli sendiri, sisanya order dari langganan di Jakarta.

Perajin konveksi ini mengaku, usaha konveksi sudah dilakoni sejak tahun 1982. Usaha konveksi harus luwes, cepat menangkap mode di kota besar. Pekerjanya juga luwes, yang rajin boleh masuk setiap hari, dan sebaliknya kalau lagi malas bisa juga absen. Dari peralatan yang dimiliki, Chasnoto terbilang sukses.

Chasnoto perajin yang beranjak dari bawah menekuni usaha konveksi. Usaha konveksi merupakan sub-usaha industri tekstil dan garmen di Kabupaten dan Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Kerajinan batik dan konveksi (garmen) di daerah pesisir ini tak ubahnya raksasa sentra industri tekstil yang mencakup usaha hulu hingga hilir.

Di sini terdapat perajin sarung palekat tradisional yang hanya mengandalkan alat tenun bukan mesin (ATBM), perajin konveksi, industri menengah garmen, pakaian batik, sampai perajin batik tradisional. Dalam perkembangannya muncul industri tekstil skala menengah dengan kapasitas 50-400 unit alat tenun mesin (ATM). Jumlah tenaga kerjanya 1.000-3.000 orang per pabrik yang menghasilkan kain mori lokal 100.000 yard hingga 800.000 yard per bulan.

Anatomi industri tekstil di Pekalongan unik. Masyarakat di Kabupaten Pekalongan, dengan sentra Pekajangan (Kedungwuni), Tirto, dan Buaran, mengkhususkan usaha tenun palekat, konveksi, tenun ATBM, usaha garmen, pakaian jadi, dan usaha tekstil. Untuk menggambarkan pentingnya sektor industri tekstil bagi warga Pekalongan, usaha tenun sarung palekat saja menghidupi 40.000 orang. Perajin yang menikmati usaha secara tak langsung di rumah bisa mencapai 100.000 orang lebih. Di Kabupaten Pekalongan tercatat tak kurang 70 persen penduduknya bergerak di sektor garmen, konveksi, dan sarung palekat.

Warga di Kota Pekalongan tampaknya mengkhususkan diri pada sektor pembatikan. Segala macam produk batik, mulai dari pakaian batik sutra, kain panjang, sarung batik, sampai busana muslim dikerjakan masyarakat kota. Pembatik tradisional masih banyak dijumpai di berbagai pelosok kota. Beberapa pengusaha batik terkenal, seperti Batik Tobal, Batik Mahkota Agung, juga nama perajin pakaian batik sutera lain sudah akrab di telinga penggemar batik.

Ny Arifin Oesman, perajin pakaian batik "Batik Kisnola" di Jalan Raya Jenggot, dikenal sebagai produsen pakaian batik. Berbagai produk pakaian batik mulai kain panjang, sarung batik, seprei, selendang/cukin, sarung palekat, kemeja batik, batik sutra, busana muslim hingga taplak batik. "Bapak tengah meninjau pekerja di Watusalam, Buaran," ujar Ny Arifin.

Di rumahnya, ruang tamu merangkap counter contoh pakaian batik. Ny Arifin mengakui, pemasaran produk pakaian batik banyak pula di Tanah Abang, Jakarta. Namun, dari total produksinya justru banyak yang diminati pasaran Jawa Tengah dan Bali. Dari kondisi usaha, tak terbayang bagaimana produksi pakaian batik ini mampu menyerap tak kurang dari 100 pekerja. Sebagai bukti sukses usaha ini, tak hanya Ariftex ini punya pabrik sendiri, melainkan di garasi rumah terparkir enam mobil keluaran tahun gres.

MENYUSURI jalan desa di Pekajangan, sekitar delapan kilometer (km) arah selatan Kota Pekalongan (Jateng), senantiasa kita akan bertemu becak mengangkut tumpukan kain mori atau kain panjang batik. Dapat ditemui pengendara sepeda motor memboncengkan kain batik berseliweran dari gang ke gang. Suasana itu dilengkapi dengan suara ATBM yang seolah beradu memilin benang jadi selembar kain.

Menurut Kepala Kelurahan Pekajangan Abdul Baqi, hampir 90 persen warga kelurahan ini menekuni kerajinan batik, meliputi pakaian batik, garmen, termasuk di dalamnya konveksi serta industri tekstil. Dari 2.008 keluarga yang kini bermukim di Pekajangan, nyaris semua menekuni kerajinan batik dan garmen. Usaha home industry yang menghidupi banyak orang.

Sastrawan Pekalongan Yunus Supriyadi menggambarkan, usaha batik menjadi mata usaha orang Pekalongan sejak tahun 1600. Masa itu, orang Pekalongan, khususnya asal Pekajangan, menyadari mereka memiliki kemampuan interpreneur, semangat dagang, dan wirausaha.

Di daerah ini juga banyak tanaman pohon jong (semacam pisang) yang diambil seratnya untuk bahan kain.

"Jadi, tak sepenuhnya warga di sini agraris. Sejarah nenek moyang diyakini pula ada perpaduan perkawinan orang Jawa dengan keturunan Tionghoa yang dulu banyak berdatangan karena pelabuhan Pekalongan sangat ramai," ujar Yunus. Ditambahkan, perpaduan itu menyebabkan watak orang Pekalongan sangat egaliter, tak mementingkan status, suka berwiraswasta serta mudah beradaptasi. Mereka juga tak pernah tertarik jadi pegawai pemerintah.

Sekitar tahun 1800, warga Tionghoa menanam sejenis kapas (ciam). Dari serat tanaman jong dan ciam masyarakat Pekajangan berusaha membuat kain dengan alat tenun sederhana. Jiwa dagang warga daerah ini mendorong perajin dan pedagang bepergian ke daerah lain, termasuk ke Yogyakarta dan Surakarta yang interaksinya semakin kental dari tahun ke tahun. Situasi pertekstilan semakin maju tahun 1920 sehingga timbul pengaturan izin lisensi untuk pengusaha tekstil harus diurus di Batavia (Jakarta) ke Gubernur Jenderal Belanda.

"Kemajuan pesat pertekstilan di Pekajangan ditandai munculnya Batik Trading Compani tahun 1950. Pada tahun 1937, perajin mendirikan Koperasi Batik Pekajangan yang memberi sumber inspirasi munculnya koperasi batik di Setono, Tirto, dan lainnya. Kemunculan koperasi batik akhirnya disatukan dalam Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pada tahun 1949," ujar Yunus.

Di Pekajangan, kerajinan batik dan konfeksi makin meluas ke Tangkil, Ambokembang, Penatus, dan terus mengilhami usaha sejenis di seluruh Kabupaten dan Kota Pekalongan. Di daerah sekitar, seperti Kabupaten Batang dan Kabupaten Pemalang pun berkembang usaha konveksi.

Pengusaha tenun palekat Gajah Palem Farid Akhwan mengatakan, banyak pabrik pertenunan maupun tekstil yang dikelola koperasi batik secara bertahap mundur usahanya. Terlebih tahun 1970 pemerintah banyak mengizinkan pendirian pabrik tekstil dan pertenunan modern melalui paket program penanaman modal dalam dan luar negeri. Pabrik besar berdiri, banyak pedagang batik atau perajin menjadi juragan di kampung ini. "Munculnya pabrik tekstil besar menyebabkan iklim usaha terseleksi. Pengusaha lokal hanya memiliki mesin tenun tua, aset pasar terbatas, dan manajemen maupun modal lemah sehingga kalah bersaing," ujar Farid.

Meski persaingan usaha tenun dan tekstil tajam, namun secara bisnis perajin di Pekalongan dapat memilih usahanya sesuai kemampuan, mau menekuni pakaian batik, tekstil, garmen, atau tenun palekat

. Malahan ada pameo: bukan orang Pekalongan namanya, kalau tidak mampu menerobos kebekuan pemasaran pakaian batik dan produk konveksi setelah pasar potensial Tanah Abang Jakarta dan Pulau Bali terkena musibah. Menerobos pasar baru mulai banyak dilakukan perajin batik, pengusaha garmen, dan perajin tenun supaya sisa produksi tidak mandek di gudang atau di rumah mereka.

Perajin tenun asal Ambokembang, Kedungwuni, Warsono menjelaskan, bermodal enam ATBM kuno, dia merintis usaha kerajinan tenun. Itu diawali setelah memutuskan keluar dari pekerjaan di pabrik sarung palekat pada tahun 1998.

Bermodal Rp 200.000 dan pengalaman belajar membuat kain tenun, ia merintis usaha sendiri. Usahanya diberi nama Sonyatex, kependekan dari Warsono dan Nyonya Tekstil karena modal usahanya berasal dari istri.

"Saya membeli bahan benang berbagai tipe kemudian diolah dan dijual. Benang itu saya jual secara eceran atau bentuk barang pascaproduksi seperti karpet, beragam cover, serta bahan kain lain," ujarnya.

Dari usaha ini, omzet yang diperoleh kini sudah mendekati Rp 5 juta per bulan. Ketika Pasar Tanah Abang terbakar, dia langsung memasarkan kain tenun ke Bali. Dikatakan, banyak perajin bermodal kecil yang memerlukan bahan baku cepat dan murah. Dengan kesediaan menjual kain berwarna siap olah atau bahan kain tenun saja, dia mencukupi kebutuhan bahan baku ratusan perajin modal kecil yang tak mungkin dilayani pabrik menengah dan besar.

Ketua Koperasi Tekstil Pekalongan (Koperteks) Al Jabar Eddy Budiono mengatakan, pemain baru dalam bisnis usaha ini setiap tahun bertambah. Keluarga muda, maksudnya pasangan muda yang baru menikah di daerah ini, selalu membuka usaha baru. Kalau tak cukup modal, suami bekerja di pabrik tenun, istrinya dagang daster. Nantinya mereka meningkat jadi perajin pakaian batik, produksi daster dan pakaian batik lain. "Meski tumbuh pemain baru, pasar seolah jenuh, tetapi peluang usaha ini masih diminati," ujar Eddy.

KETUA Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pekalongan Imam Ismanto Bakti berpendapat, harus diakui munculnya pabrik baru menyerap bayak tenaga kerja. Strategi pemasaran pun berubah. Setiap usaha bebas memilih pangsa pasar. Ibarat kompetisi sepak bola, ada yang bermain di liga utama, divisi satu, divisi dua, atau berkutat di divisi tiga.

Persaingan sengit, misalnya, bisa dikaji secara gampang dari rebutan merek sarung palekat. Beberapa pabrik tenun melemparkan sarung palekat Cap Mangga, Gajah Duduk, Sapphire, dan Cap Atlas untuk pangsa pasar kelas atas. Sebaliknya, pengusaha kecil bermain di segmen bawah, membuat merek ikutan yang tak jauh beda merek papan atas.

Merek Gajah hingga saat ini jadi trade mark sarung palekat bikinan Pekalongan. Betapa sengitnya persaingan dagang, cap Gajah bisa jadi contoh betapa merek menyusul sarung cap Gajah Duduk.

Pengusaha sejenis mengeluarkan bermacam merek tanpa meninggalkan kata Gajah, mulai Boneka Gajah, Gajah Duku, Gajah Palem, Gajah Bola, dan Gajah Dudu. "Kalau mau membeli kemeja batik sutera murah datang saja pada hari Idul Fitri. Kemeja batik motif floring hanya dijual Rp 20.000 per potong. Ini harga yang sudah tidak realistis, tetapi nyata," kata Ismanto Bakti.

Persekutuan perajin batik dan trader di Pekalongan pada tahun 1999 mendorong munculnya pasar grosir batik lokal yang mampu menyerap tak kurang dari 10 persen total produksi tekstil, batik, dan garmen. Soni Hikmalul, salah seorang penggagas pasar grosir menjelaskan, pasar grosir sebenarnya membuka celah pertemuan produsen batik dengan pedagang besar maupun pembeli eceran.

Bisnis ritail batik ternyata sangat diminati, terbukti kini ada enam pasar grosir batik di Pekalongan. Pasar grosir terbesar adalah Pasar Grosir Setono dengan jumlah 250 kios. (WINARTO HERUSANSONO)


Batik Pekalongan, antara Masa Lampau dan Kini

Harian Kompas


BATIK pekalongan bukan hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga terkenal di mancanegara. Batik pekalongan sejak lama diekspor ke sejumlah negara, antara lain Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sedemikian terkenalnya batik dari Pekalongan, Jawa Tengah sehingga jenis batik ini tidak berhenti hanya menjadi hasil kegiatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi ikon wisata.

BATIK pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.

Akibatnya, batik pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.

Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing baru, seperti Vietnam, menantang industri batik pekalongan untuk segera mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.

Gagal melewati masa transisi ini, batik pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.

FATHIYAH A Kadir, seorang pengusaha batik di Kota Pekalongan, mengatakan, pada awal tahun 1970-an hampir seluruh pekerja di unit usaha batik pekalongan adalah petani. "Jadi, mereka tukang batik sekaligus petani," ujarnya.

Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen, mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.

"Suasana kerja sangat diwarnai semangat keguyuban, semangat kekeluargaan," ungkap perempuan pengusaha itu.

Sebagaimana halnya motif batik pekalongan yang secara kontinu berubah seiring perjalanan waktu, suasana keguyuban atau kekeluargaan juga dirasakan telah berubah. "Terutama setelah keluarnya Undang-Undang tentang Tenaga Kerja," ungkap Fathiyah.

Lewat UU tersebut, pengusaha yang memiliki pekerja dalam jumlah tertentu harus mengikutkan pekerjanya dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Selain itu, UU yang sama juga memberi kesempatan bagi pekerja untuk mendirikan serikat pekerja sebagai alat perjuangan kepentingan mereka.

Aturan ini dinilai sebagai bentuk intervensi pemerintah yang merugikan pengusaha batik. Alasannya, pengusaha terpaksa membayar iuran Jamsostek dan mengizinkan pekerja untuk mendirikan serikat pekerja.

Pandangan semacam itu, menurut Ketua III Paguyuban Batik Pekalongan Totok Parwoto, masih banyak ditemui di kalangan pengusaha batik pekalongan. "Mereka melihat iuran Jamsostek sebagai beban. Padahal, justru dengan ikut serta dalam program Jamsostek, pengusaha menjadi terbantu. Jika terjadi sesuatu pada diri pekerja, tunjangan bisa diambilkan dari Jamsostek," katanya.

Totok mengungkapkan, masih banyak pengusaha batik pekalongan yang mengeksploitasi pekerja. Produk batik yang dihasilkan mencapai harga jutaan rupiah, namun kesejahteraan pekerja jauh di bawah batas kewajaran.

"Suatu waktu saya akan mengajak Anda ke suatu tempat usaha batik di Kelurahan Buaran, Kota Pekalongan. Pemilik tempat itu sangat memforsir pekerja. Batiknya laku sampai jutaan rupiah, tetapi pekerjanya hanya makan nasi bungkus, yang menurut saya, kurang layak untuk disajikan," ujar Totok.

ZAMAN telah berubah. Pekerja batik di Pekalongan kini tidak lagi didominasi petani. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan muda setempat yang ingin mencari nafkah. Hidup mereka mungkin sepenuhnya bergantung pada pekerjaan membatik.

Tuntutan pekerja terhadap kesejahteraan yang lebih terjamin dipandang pengusaha sebagai bentuk perubahan zaman yang merugikan mereka. Suasana kekeluargaan sudah tidak ada lagi, suasana keguyuban sudah pupus.

Pengusaha semakin merasa tersudutkan karena pemerintah ternyata melindungi pekerja untuk membuat serikat pekerja dan mengharuskan pengusaha untuk ikut program Jamsostek.

"Kondisi ini semakin susah karena penjualan batik pekalongan anjlok setelah ada serangan bom di New York pada bulan September 2001, bom di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir terbakarnya Pasar Tanah Abang," ujar seorang pengusaha yang keberatan dengan UU Tenaga Kerja yang terbaru.

Belum lagi batik pekalongan kini menghadapi persaingan berat di dunia internasional. "Produk tekstil dari Vietnam dan Banglades terus mendesak pangsa pasar batik pekalongan. Padahal, produk yang mereka hasilkan bukan batik. Ini dikarenakan orang luar negeri sesungguhnya tidak peduli apakah jenis tekstil yang mereka beli itu batik atau bukan," ujarnya.

Apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.

Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia.

Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.

Kompetisi yang kian ketat mengondisikan usaha kecil menengah untuk memperbaiki kinerja, sekaligus memperbaiki kualitas produk yang mereka hasilkan. Paradigma lama kerap menuding tuntutan perbaikan kesejahteraan pekerja sebagai kambing hitam terjadinya pembengkakan produksi.

Paradigma ini mengabaikan kualitas pekerjaan yang baik atau kreativitas untuk menghasilkan inovasi produk keluar dari pekerja yang sejahtera dan pekerja yang melaksanakan tugasnya dengan tenang.

Untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat, pengusaha batik pekalongan sudah seharusnya mengadopsi paradigma baru dalam mengelola usaha mereka. Sebagaimana tersirat pada pandangan yang disampaikan Totok.

"Kualitas produk sangat ditentukan oleh pekerja. Program yang menguntungkan pekerja, seperti Jamsostek, sangat membantu pemberdayaan pekerja," ujarnya.

Hanya bersandarkan pada keunggulan upah pekerja yang murah sudah harus ditinggalkan pengusaha Indonesia, termasuk pengusaha batik pekalongan. Bersandarkan pada keunggulan berupa keunikan produk tampaknya juga sudah harus ditinggalkan.

"Pesaing kita semakin berat. Bayangkan, saat saya berkunjung ke Bangkok, saya melihat ternyata Thailand kini juga mampu membuat batik yang jauh lebih bagus daripada yang kita hasilkan," ungkap Totok.

BAGI pengusaha batik pekalongan, memasuki tahun 2004 adalah memasuki masa yang penuh kesulitan. Permintaan batik pekalongan dari segala penjuru di Indonesia anjlok drastis. Berkodi-kodi batik menumpuk di tempat pengerjaan karena lesunya permintaan.

"Ketika krisis moneter tahun 1997, batik pekalongan terpukul akibat kenaikan harga kain mori. Namun, dampak kenaikan harga kain mori cukup bisa diimbangi dengan penjualan ekspor batik pekalongan yang menguntungkan karena anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kondisi ini berbeda dengan sekarang. Nilai tukar rupiah sudah relatif stabil, tetapi permintaan sangat lesu," kata Direktur Pasar Grosir Setono, Kota Pekalongan, Hasanuddin.

Sejumlah pedagang batik di pasar grosir menuding penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sebagai penyebab menurunnya omzet penjualan batik pekalongan hingga 50 persen. Argumennya, orang menunda perjalanan ke pekalongan karena menunggu hingga rampungnya kampanye Pemilu 2004.

Akan tetapi, bagi Hasanuddin, lesunya penjualan batik pekalongan terkait erat dengan penurunan daya beli masyarakat. Alasannya, jika penjualan batik pekalongan lesu hanya dikarenakan Pemilu 2004, tentu pesanan batik dari luar Pekalongan, seperti Makassar dan Surabaya, relatif tidak mengalami kelesuan karena orang tidak perlu melakukan perjalanan ke Pekalongan.

"Pengusaha batik yang dulu berorientasi menjual produknya ke luar kota sekarang beramai-ramai berjualan di Pekalongan. Ini ditandai dengan melonjaknya permintaan kios di pasar grosir," ujar Hasanuddin.

Akan tetapi, usaha itu tampaknya tetap tidak membantu. Bertumpuk-tumpuk batik tetap saja tak terjual di tempat produksi. Karena itu, dari sekitar 100 usaha batik di daerah Kelurahan Buaran, misalnya, sekitar 25 persen di antaranya sudah meliburkan pekerja. "Penjualan macet. Bagaimana mereka bisa melanjutkan produksi?" ungkap Hasanuddin.

Redupnya usaha batik pekalongan, menurut Hasanuddin, juga ditandai dengan kian banyaknya penyewa kios di Pasar Grosir Setono yang membayar ongkos sewa dengan cek kosong. Ini nyaris tidak pernah ditemui pada masa sebelumnya.

"Padahal, penyewa kios itu tergolong pengusaha besar dan nilai sewa yang harus dibayarkan cukup kecil, hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. Saya kira, dalam kondisi normal, tidak mungkin pengusaha yang tergolong cukup mapan melakukan hal tersebut," kata Hasanuddin lagi.

Akan tetapi, peka terhadap tuntutan pasar dan meresponsnya dalam bentuk inovasi dibuktikan pengusaha batik pekalongan, Rusdiyanto, yang berhasil menyelamatkan usahanya dari terpaan krisis. "Kalau saja saya tidak memulai memproduksi batik serat nanas tiga tahun lalu, usaha batik saya mungkin juga sudah meliburkan pekerja sekarang," kata pria yang tempat usahanya berada di Kelurahan Setono, Kota Pekalongan, tersebut.

Batik serat nanas yang diproduksi Rusdiyanto memang tidak terpengaruh oleh terpaan krisis. Harga kain batik pekalongan berserat nanas dengan ukuran panjang 2,56 meter dan lebar 1,15 meter bisa mencapai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. Karena itu, orang yang membeli jenis batik ini tentunya mereka dengan kondisi keuangan yang nyaris tidak terjamah gempuran krisis.

Bahkan, Rusdiyanto mengaku saat ini kesulitan untuk memenuhi order. "Batik serat nanas yang saya produksi tidak pernah menumpuk. Baru jadi, langsung dibawa pembeli ke Jakarta atau Singapura," ungkapnya.

Menurut Totok Parwoto, harga batik serat nanas di Jakarta naik berkali-kali lipat dibandingkan saat harganya masih di Pekalongan. "Kain batik serat nanas yang harganya di Pekalongan Rp 3 juta bisa mencapai Rp 7 juta di Jakarta," ungkapnya.

Batik serat nanas memiliki harga yang mahal karena suplai kain serat nanas masih sangat sedikit. Saat ini pengusaha batik serat nanas di Pekalongan hanya bergantung pada dua penyuplai kain serat nanas, yakni dari Kabupaten Pemalang dan dari Pabrik Radika di Pekalongan.

Sedikitnya produsen kain serat nanas disebabkan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses pemintalan serat nanas menjadi benang, yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Padahal, di Pemalang, terutama di Kecamatan Belik, tanaman nanas melimpah ruah.

Selain itu, harga kain batik serat nanas sangat mahal karena jenis batik ini dipadukan dengan serat sutra. Padahal, batik sutra sendiri sudah tergolong sebagai batik yang mahal. "Belum lagi pembuatan batik serat nanas dilakukan dengan tangan atau termasuk batik tulis. Satu bulan, satu pekerja saya hanya menghasilkan satu kain batik serat nanas," kata Rusdiyanto.

Inovasi yang dilakukan Rusdiyanto bukan hanya terbatas pada penggunaan serat nanas. Pengusaha batik ini juga melakukan inovasi pada motif batik. "Saya menggunakan motif batik pekalongan kuno," ujarnya.

Motif batik pekalongan kuno adalah motif yang dipakai saat pertama kali batik pekalongan muncul. Motif ini biasanya berbentuk tentara Belanda atau orang Belanda dengan segala atributnya. Bahkan, tidak jarang motif itu juga menggambarkan tank.

Warna yang digunakan Rusdiyanto juga warna saat batik pekalongan pertama kali muncul, yakni warna yang natural, seperti coklat atau merah bata. Berbeda dengan warna batik pekalongan sekarang, yang disebut orang dengan warna ngejreng. "Kain batik serat nanas dengan motif kuno dan warna alam ternyata sangat disukai pembeli dari luar negeri," katanya.

Inovasi terbukti selalu memberikan jalan keluar. (A TOMY TRINUGROHO)