Tuesday, June 19, 2007



Antara Kang Jasir dan Mas Jaman


Kalau kita omong tentang Jowo, assosiasi kita ya Pulau Jowo yang membentang dari Anyer sampai Banyuwangi. Tapi mahluk yg menghuni di Planet Jowo tidak semuanya mau disebut Wong Jowo.

Orang Serang atau Tangerang, menyebut dirinya wong Banten. Orang Ciledug atau Meruya Jakarta, tidak mau disebut Wong Jowo, dia bilang, Orang Betawi..

Apalagi orang2 Jawa Barat, Urang Sunda. Secara sosisologis dan antropologis ya memang begitu . Yang mau nyebut dirinya Wong Jowo, hanya orang2 Jawa Tengah, Jogya, Solo dan orang2 Jawa Timur.

Tentang Wong Jowo Jawa Tengah, Jogja dan Solo, biasanya persepsinya menjadi bias,

Mahluk2 di Jawa Tengah digeneralisir seluruhnya Wong Jowo. Sehingga pernik2 budayanya dianggap tunggal. Contoh dalam upacara kawinan, Wong Tegal, Wong Ngkalongan. Pemalang, Brebes dan Batang, kalau mantenan, ya mengikuti seremoni budaya Jogja atau Solo, yang dianggap sebagai Mekkahnya budaya Jowo. Ya pakai cucuk lampah, pakiannya mempelainya busono kraton bahkan adicoronya pakai boso

yang tirik2, yang tidak difahami opo kuwi artine.

Secara etnologis dan budaya, Jowo Jawa Tengah dan DIY itu dapat digolongkan menjadi 2 entitas, yaitu Jowo Pesisir dan Jowo Pedalaman.

Yang pesisir, yang mendiami wilayah Pantura , disebut KANG JASIR (Jowo Pesisir) dan yang pedalaman –jauh dari pesisir -, seperti Solo, Jogja dan daerah2 sekitarnya, Bantul, Wates, Kulon Progo, Sragen, Karanganyar dlsb. disebut MAS JAMAN ( Jowo Pedalaman). Sudah barang tentu pernik2 budoyonya jauh berbeda.

Kang Jasir karena jauh dari Pusat Kraton, biasanya punya sikap egaliter. Semuanya sama, tidak ada batas, tidak ada unggah-ungguh. Lebih demokratis, terbuka. Semuanya sama, yang beda hanya kwalitas taqwanya dihadapan Kanjeng Gusti Alloh .

Beda dengan Mas Jaman, karena dekat dengan pusat kekuasaan Kraton, orang2nya lebih memperhatikan sopan santun, unggah ungguh , bahkan dalam pergaulan sehari2nya, menggunakan boso kromo yang tirik2 itu. Sebagaimana ketika mereka menghormati Rajanya. Oleh karena itu, kita harus maklum kalau Mas Jaman kadang2 “godeg2” lihat tingkah laku Kang Jasir dalam pergaulan sehari2. Ora nganggo totokromo. Sakpenake dewe !. Maklum karena -ya itu tadi- Mas Jaman terbiasa hidup teratur, penuh sopan santun ……. Injih…..monggo….. nuwun sewu…Jadi Mas Jaman, jangan kaget kalau Kang Jasir Pekalongan suka ngobral kata2 : edan, raimu, gebleg !

Jangankan dengan sesame kawan, Kang Jasir Ngkajangan kalau omong sama orang tuanya , ya biasa saja. Lempengan , ngga pake boso2 kromo yang tidak difahaminya .

Entres dan enjoy saja.Ya saking egaliternya. Boso kromo dianggap Boso Ketoprak.

Waktu dulu saya Nyantri di UGM Jogja, pesan Bapak saya antik “ Le kowe tak sekolaheke nang Gajah Mada Jogja kuwi ben pinter, ben ora kalah karo Cino lan ora kalah karo Londo. Dadi dudu ben dadi Ketoprak jawab saya: “ paham.. paham Pak, ojo kwatir beres ….. !“ Biasanya dengan jawaban begitu, sangune mesti ditambah….. ha..ha…

Oleh karena itu kalau Kang2 Jasir, mau mantu anake, yo mustinya pakai budayanya

sendiri. Mantennya lanang pakiannya model Baju Koko, kopiah Hitam Hasan Sukur, sarung batik osli Ngkalongan. Begitu juga manten perempuannya, pakai kerudung / jilbab, dan jarik batik osli Pekalongan.Tambah tesmak (kocomoto) item, tambah afdol. Iringan untuk mantennya waktu dipertemukan, pakai terbang kencer Bring.. tong….bring….tong2… bring….. !

Pengatur acaranya ya pakai bosone Kang Jasir Ngkalongan :

”….. Sedulur2 kabeh… alkhamdulillah …. Kowe kabeh biso teko nang resepsi iki, berarti nglegakke. Mulane aku minangko wakil kadek Sohibaul Bait, matur nuwun yang banyak. Resepsi mantenan iki yo kuwi, resepsi mantenan anake Pak Kaji Djupri sing arane : Moh. Iqbal melawan anake Pak Kaji Dullah sing arane Siti Markonah………

Bring…tong2….bring…. Salatulloh Salamulloh …….” Suarane terbang kencer Njayan Buaran.

Kalau tidak ada terbangan, ya pakai Orbus (Orkes Gambus) Irama Padang Pasir. “Nur Illahi “

dibawah asuhan Sodin Tokyo, Kebutuh Pekajangan.

1 comment:

Asep Mail said...

Ha....ha....ha.....
Nuwun sewu - Ente !