Dari Pekajangan, Batik Pekalongan Berbicara
Harian Kompas
LEBAR jalan di Gang Pekajangan II hanya empat meter. Mengendarai mobil memasuki gang ini harus hati-hati. Kalau mau berputar kembali butuh halaman rumah yang terbuka. Ketika usaha tenun yang dicari ketemu, letaknya ternyata berada di sela kepadatan jajaran rumah. Ketika mobil mau masuk, di tanah lapang itu terbentang puluhan celana jins tengah ditata di tanah untuk dijemur. "Masuk saja Pak, ndak apa-apa kalau mobilnya melindas celana jins itu," kata salah seorang pekerja di usaha konveksi milik H Chasnoto.
JURAGAN jins wash Chasnoto menyongsong tamunya hanya dengan mengenakan kain sarung dan kaus. Terkesan santai. Langsung dia mengajak tamunya mengelilingi areal rumah sekaligus pabrik usaha jins. Ada 30 pekerja, delapan di antaranya perempuan, sedang menyelesaikan order pembuatan celana jins. Celana yang baru dijemur itu ternyata baru digilas di mesin pencuci, sekaligus diberi obat penguat warna.
"Celana jins, khususnya buat perempuan muda, lagi trend. Jins yang paha depan dan belakangnya diberi sentuhan asap (maksudnya warna putih vertikal). Celana model begitu laku keras. Kalau sudah kering, celana itu dicuci lagi di mesin cuci besar, disetrika, dan dikemas berikut diberi label merek," tutur Chasnoto.
Seorang pekerja mengaku mampu menyelesaikan 35-40 potong celana jins sehari. Rata-rata pekerja memperoleh penghasilan Rp 15.000-Rp 20.000 sehari. Mereka juga dapat makan siang dan makanan ringan. Dari tumpukan bahan yang berserakan, diperkirakan Chasnoto tengah menyelesaikan 400 potong celana jins. Sebagian besar bahan dibeli sendiri, sisanya order dari langganan di Jakarta.
Perajin konveksi ini mengaku, usaha konveksi sudah dilakoni sejak tahun 1982. Usaha konveksi harus luwes, cepat menangkap mode di kota besar. Pekerjanya juga luwes, yang rajin boleh masuk setiap hari, dan sebaliknya kalau lagi malas bisa juga absen. Dari peralatan yang dimiliki, Chasnoto terbilang sukses.
Chasnoto perajin yang beranjak dari bawah menekuni usaha konveksi. Usaha konveksi merupakan sub-usaha industri tekstil dan garmen di Kabupaten dan Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Kerajinan batik dan konveksi (garmen) di daerah pesisir ini tak ubahnya raksasa sentra industri tekstil yang mencakup usaha hulu hingga hilir.
Di sini terdapat perajin sarung palekat tradisional yang hanya mengandalkan alat tenun bukan mesin (ATBM), perajin konveksi, industri menengah garmen, pakaian batik, sampai perajin batik tradisional. Dalam perkembangannya muncul industri tekstil skala menengah dengan kapasitas 50-400 unit alat tenun mesin (ATM). Jumlah tenaga kerjanya 1.000-3.000 orang per pabrik yang menghasilkan kain mori lokal 100.000 yard hingga 800.000 yard per bulan.
Anatomi industri tekstil di Pekalongan unik. Masyarakat di Kabupaten Pekalongan, dengan sentra Pekajangan (Kedungwuni), Tirto, dan Buaran, mengkhususkan usaha tenun palekat, konveksi, tenun ATBM, usaha garmen, pakaian jadi, dan usaha tekstil. Untuk menggambarkan pentingnya sektor industri tekstil bagi warga Pekalongan, usaha tenun sarung palekat saja menghidupi 40.000 orang. Perajin yang menikmati usaha secara tak langsung di rumah bisa mencapai 100.000 orang lebih. Di Kabupaten Pekalongan tercatat tak kurang 70 persen penduduknya bergerak di sektor garmen, konveksi, dan sarung palekat.
Warga di Kota Pekalongan tampaknya mengkhususkan diri pada sektor pembatikan. Segala macam produk batik, mulai dari pakaian batik sutra, kain panjang, sarung batik, sampai busana muslim dikerjakan masyarakat kota. Pembatik tradisional masih banyak dijumpai di berbagai pelosok kota. Beberapa pengusaha batik terkenal, seperti Batik Tobal, Batik Mahkota Agung, juga nama perajin pakaian batik sutera lain sudah akrab di telinga penggemar batik.
Ny Arifin Oesman, perajin pakaian batik "Batik Kisnola" di Jalan Raya Jenggot, dikenal sebagai produsen pakaian batik. Berbagai produk pakaian batik mulai kain panjang, sarung batik, seprei, selendang/cukin, sarung palekat, kemeja batik, batik sutra, busana muslim hingga taplak batik. "Bapak tengah meninjau pekerja di Watusalam, Buaran," ujar Ny Arifin.
Di rumahnya, ruang tamu merangkap counter contoh pakaian batik. Ny Arifin mengakui, pemasaran produk pakaian batik banyak pula di Tanah Abang, Jakarta. Namun, dari total produksinya justru banyak yang diminati pasaran Jawa Tengah dan Bali. Dari kondisi usaha, tak terbayang bagaimana produksi pakaian batik ini mampu menyerap tak kurang dari 100 pekerja. Sebagai bukti sukses usaha ini, tak hanya Ariftex ini punya pabrik sendiri, melainkan di garasi rumah terparkir enam mobil keluaran tahun gres.
MENYUSURI jalan desa di Pekajangan, sekitar delapan kilometer (km) arah selatan Kota Pekalongan (Jateng), senantiasa kita akan bertemu becak mengangkut tumpukan kain mori atau kain panjang batik. Dapat ditemui pengendara sepeda motor memboncengkan kain batik berseliweran dari gang ke gang. Suasana itu dilengkapi dengan suara ATBM yang seolah beradu memilin benang jadi selembar kain.
Menurut Kepala Kelurahan Pekajangan Abdul Baqi, hampir 90 persen warga kelurahan ini menekuni kerajinan batik, meliputi pakaian batik, garmen, termasuk di dalamnya konveksi serta industri tekstil. Dari 2.008 keluarga yang kini bermukim di Pekajangan, nyaris semua menekuni kerajinan batik dan garmen. Usaha home industry yang menghidupi banyak orang.
Sastrawan Pekalongan Yunus Supriyadi menggambarkan, usaha batik menjadi mata usaha orang Pekalongan sejak tahun 1600. Masa itu, orang Pekalongan, khususnya asal Pekajangan, menyadari mereka memiliki kemampuan interpreneur, semangat dagang, dan wirausaha.
Di daerah ini juga banyak tanaman pohon jong (semacam pisang) yang diambil seratnya untuk bahan kain.
"Jadi, tak sepenuhnya warga di sini agraris. Sejarah nenek moyang diyakini pula ada perpaduan perkawinan orang Jawa dengan keturunan Tionghoa yang dulu banyak berdatangan karena pelabuhan Pekalongan sangat ramai," ujar Yunus. Ditambahkan, perpaduan itu menyebabkan watak orang Pekalongan sangat egaliter, tak mementingkan status, suka berwiraswasta serta mudah beradaptasi. Mereka juga tak pernah tertarik jadi pegawai pemerintah.
Sekitar tahun 1800, warga Tionghoa menanam sejenis kapas (ciam). Dari serat tanaman jong dan ciam masyarakat Pekajangan berusaha membuat kain dengan alat tenun sederhana. Jiwa dagang warga daerah ini mendorong perajin dan pedagang bepergian ke daerah lain, termasuk ke Yogyakarta dan Surakarta yang interaksinya semakin kental dari tahun ke tahun. Situasi pertekstilan semakin maju tahun 1920 sehingga timbul pengaturan izin lisensi untuk pengusaha tekstil harus diurus di Batavia (Jakarta) ke Gubernur Jenderal Belanda.
"Kemajuan pesat pertekstilan di Pekajangan ditandai munculnya Batik Trading Compani tahun 1950. Pada tahun 1937, perajin mendirikan Koperasi Batik Pekajangan yang memberi sumber inspirasi munculnya koperasi batik di Setono, Tirto, dan lainnya. Kemunculan koperasi batik akhirnya disatukan dalam Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pada tahun 1949," ujar Yunus.
Di Pekajangan, kerajinan batik dan konfeksi makin meluas ke Tangkil, Ambokembang, Penatus, dan terus mengilhami usaha sejenis di seluruh Kabupaten dan Kota Pekalongan. Di daerah sekitar, seperti Kabupaten Batang dan Kabupaten Pemalang pun berkembang usaha konveksi.
Pengusaha tenun palekat Gajah Palem Farid Akhwan mengatakan, banyak pabrik pertenunan maupun tekstil yang dikelola koperasi batik secara bertahap mundur usahanya. Terlebih tahun 1970 pemerintah banyak mengizinkan pendirian pabrik tekstil dan pertenunan modern melalui paket program penanaman modal dalam dan luar negeri. Pabrik besar berdiri, banyak pedagang batik atau perajin menjadi juragan di kampung ini. "Munculnya pabrik tekstil besar menyebabkan iklim usaha terseleksi. Pengusaha lokal hanya memiliki mesin tenun tua, aset pasar terbatas, dan manajemen maupun modal lemah sehingga kalah bersaing," ujar Farid.
Meski persaingan usaha tenun dan tekstil tajam, namun secara bisnis perajin di Pekalongan dapat memilih usahanya sesuai kemampuan, mau menekuni pakaian batik, tekstil, garmen, atau tenun palekat
. Malahan ada pameo: bukan orang Pekalongan namanya, kalau tidak mampu menerobos kebekuan pemasaran pakaian batik dan produk konveksi setelah pasar potensial Tanah Abang Jakarta dan Pulau Bali terkena musibah. Menerobos pasar baru mulai banyak dilakukan perajin batik, pengusaha garmen, dan perajin tenun supaya sisa produksi tidak mandek di gudang atau di rumah mereka.
Perajin tenun asal Ambokembang, Kedungwuni, Warsono menjelaskan, bermodal enam ATBM kuno, dia merintis usaha kerajinan tenun. Itu diawali setelah memutuskan keluar dari pekerjaan di pabrik sarung palekat pada tahun 1998.
Bermodal Rp 200.000 dan pengalaman belajar membuat kain tenun, ia merintis usaha sendiri. Usahanya diberi nama Sonyatex, kependekan dari Warsono dan Nyonya Tekstil karena modal usahanya berasal dari istri.
"Saya membeli bahan benang berbagai tipe kemudian diolah dan dijual. Benang itu saya jual secara eceran atau bentuk barang pascaproduksi seperti karpet, beragam cover, serta bahan kain lain," ujarnya.
Dari usaha ini, omzet yang diperoleh kini sudah mendekati Rp 5 juta per bulan. Ketika Pasar Tanah Abang terbakar, dia langsung memasarkan kain tenun ke Bali. Dikatakan, banyak perajin bermodal kecil yang memerlukan bahan baku cepat dan murah. Dengan kesediaan menjual kain berwarna siap olah atau bahan kain tenun saja, dia mencukupi kebutuhan bahan baku ratusan perajin modal kecil yang tak mungkin dilayani pabrik menengah dan besar.
Ketua Koperasi Tekstil Pekalongan (Koperteks) Al Jabar Eddy Budiono mengatakan, pemain baru dalam bisnis usaha ini setiap tahun bertambah. Keluarga muda, maksudnya pasangan muda yang baru menikah di daerah ini, selalu membuka usaha baru. Kalau tak cukup modal, suami bekerja di pabrik tenun, istrinya dagang daster. Nantinya mereka meningkat jadi perajin pakaian batik, produksi daster dan pakaian batik lain. "Meski tumbuh pemain baru, pasar seolah jenuh, tetapi peluang usaha ini masih diminati," ujar Eddy.
KETUA Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pekalongan Imam Ismanto Bakti berpendapat, harus diakui munculnya pabrik baru menyerap bayak tenaga kerja. Strategi pemasaran pun berubah. Setiap usaha bebas memilih pangsa pasar. Ibarat kompetisi sepak bola, ada yang bermain di liga utama, divisi satu, divisi dua, atau berkutat di divisi tiga.
Persaingan sengit, misalnya, bisa dikaji secara gampang dari rebutan merek sarung palekat. Beberapa pabrik tenun melemparkan sarung palekat Cap Mangga, Gajah Duduk, Sapphire, dan Cap Atlas untuk pangsa pasar kelas atas. Sebaliknya, pengusaha kecil bermain di segmen bawah, membuat merek ikutan yang tak jauh beda merek papan atas.
Merek Gajah hingga saat ini jadi trade mark sarung palekat bikinan Pekalongan. Betapa sengitnya persaingan dagang, cap Gajah bisa jadi contoh betapa merek menyusul sarung cap Gajah Duduk.
Pengusaha sejenis mengeluarkan bermacam merek tanpa meninggalkan kata Gajah, mulai Boneka Gajah, Gajah Duku, Gajah Palem, Gajah Bola, dan Gajah Dudu. "Kalau mau membeli kemeja batik sutera murah datang saja pada hari Idul Fitri. Kemeja batik motif floring hanya dijual Rp 20.000 per potong. Ini harga yang sudah tidak realistis, tetapi nyata," kata Ismanto Bakti.
Persekutuan perajin batik dan trader di Pekalongan pada tahun 1999 mendorong munculnya pasar grosir batik lokal yang mampu menyerap tak kurang dari 10 persen total produksi tekstil, batik, dan garmen. Soni Hikmalul, salah seorang penggagas pasar grosir menjelaskan, pasar grosir sebenarnya membuka celah pertemuan produsen batik dengan pedagang besar maupun pembeli eceran.
Bisnis ritail batik ternyata sangat diminati, terbukti kini ada enam pasar grosir batik di Pekalongan. Pasar grosir terbesar adalah Pasar Grosir Setono dengan jumlah 250 kios. (WINARTO HERUSANSONO)